Label

Rabu, 05 Maret 2014

Jika Dia Bukan Sahabat



Jika Dia Bukan Sahabat . . .


D
ua wanita itu saling diam. Sesekali mereka saling mencuri pandang, namun tak pernah berlangsung lama. Mata keduanya terasa panas saat sepasang bola mata mereka saling beradu. Ada sebuah rautan yang menggurat wajah mereka. Rautan yang sukar untuk dijelaskan. Rautan kegalauan hati yang kini sedang membuncah – buncah , menguasai amarah yang menaik turunkan dada mereka.
Hening. Kamar itu terasa hening. Tak ada inisiatif antara keduanya untuk memulai pembicaraan. Entah apa alasannya – belum mereka temukan. Dina beranjak dari tempat tidur yang sejak tadi menjadi penopang tubuh mereka yang kaku - menuju gorden hijau kamar itu, lalu membukanya. Kamar yang luas itu tak cukup membuat ia merasa nyaman, AC yang sejak tadi menyala tak cukup dingin untuk membuat suasana kamar itu sedikit sejuk. Matanya menerawang jauh ke luar jendela. Kilatan – kilatan masa lalu merasuki otaknya.
Persahabatan adalah silaturahim terindah yang dijalin manusia. Lewatnya kita berbagi, lewatnya kita memberi, lewatnya kita tertawa, lewatnya kita menangis, lewatnya kita merasakan beban berat menjadi begitu ringan.
Dina tersenyum getir.
Semuanya terasa mimpi yang tak punya daya apapun untuk mengubah kehidupan dunia nyata. Adakah syarat untuk sebuah persahabatan?
“Aku mohon, Din. Maafkan aku. Aku tahu aku salah. Aku sama sekali tak bermaksud. . .”
Dina menatap kosong sosok yang di wajahnya terukir penyesalan yang mendalam itu.
“Saat itu aku serasa ingin mati.”Jawab Dina datar dengan tatapan yang tetap kosong.
Srrettt! Maya tertunduk. Sebuah belati tajam menggores hatinya yang luka. Luka yang tak kunjung kering sejak belasan tahun yang lalu. Periiih!
“Maaf. . .“ Lirihnya.
“Hanya itu yang dapat kau ucapkan.”
Bulir demi bulir air beningnya jatuh. Menetesi lukanya. Hhsshh. .semakin perih rasanya.
“Itu bukan salahku, May.”
“Aku tahu itu. . .” suara Maya serak.
“Harusnya kita tak pernah bertemu lagi.”
“Dina, aku sahabatmu.”
“Harusnya dulu kau ingat itu.”
Buliran bening memenuhi dadanya. Maya mulai sesak. Ia sadar, ia salah. Sahabat macam apa yang dengan kejam meninggalkan sahabatnya saat ia sangat- sangat membutuhkannya?! Sahabat macam apa yang tak mengusapkan tangannya pada pipi sahabatnya yang penuh dengan deraian air mata?! Sahabat macam apa yang tak hadir menerangi jiwa sahabatnya yang tengah tertutup awan gelap?! Sahabat macam apa?! Atau bahkan masih pantaskah ia disebut seebagai sahabat?! Ia sadar semua itu. Namun keadaan. Keadaan yang membuatnya terhujam oleh pertanyaan – pertanyaan seperti itu. Saat itu ia bagaikan makan buah simalakama. Ia ingin sekali mengganti buliran – buliran itu dengan deraian tawa, atau sekedar mengembangkan senyumnya yang manis. Namun keadaan memaksa ia menghindarkan jauh – jauh tangannya dari pipi itu. Memaksa ia menghindarkan diri dari sosok kaku di hadapannya kini. Berhari – hari, berminggu – minggu, sampai berbelasan tahun mereka tak pernah bertatap muka lagi hingga akhirnya keadaan mempertemukan mereka kembali, di hari ini.
“Aku punya alasan, Din.”
“Sudahlah! Aku sudah melupakannya.” Nada bicara Dina naik satu oktaf.
“Tapi kau belum memaafkanku.”
“Sulit, May. Harusnya kau tak usah membongkar kembali benang – benang fibrin yang mulai menutup lukaku ini.” Ketus Dina.
“Aku punya alasan, Din.” Tembak Maya.
Dina tersenyum getir. Bibirnya bergetar.
“Karena apa, May? Karena kau malu? Aku tahu, keadaanku memang sangat memalukan! Kau jijik, May? Tubuhku memang kotor saat itu, dan mungkin juga hingga saat ini.
“Aku memang tidak sepertimu, May. Aku bukan muslimah berjilbab sepertimu. Aku bukan anak Bapak Ustadz. Aku bukan golongan terpandang.” Dina tersenyum sinis.“Mau ditaro di mana mukamu jika masih berteman denganku?! Anak Pak Ustadz kok temenan sama pelaku zina.” Dina menggeleng – gelengkan kepalanya.
Maya meringis. Matanya tak mampu membendung awan – awan yang bergelantungan pada kelopak matanya untuk merembes.
“Jangan menangis, May.”
“Aku minta maaf, Din ... aku yang salah ... aku tahu itu ...” Maya mengisak. “Aku benar – benar dalam keadaan sulit saat itu, Din. Apa kau pikir aku tak peduli padamu, Din? Apa kau pikir aku lantas mencoret namamu dari daftar sahabatku? Nggak, Din, nggak!! Aku ingin sekali menghapus air mata itu ... aku ingin sekali bersenandung untuk memekarkan hatimu ... aku ingin sekali, Din. Apa kau pikir hanya kau yang sakit? Aku juga sakit, Din! Sakit rasanya saat aku harus memaksakan tubuh ini untuk berjauhan denganmu ... sakit rasanya, Din – saat aku harus tak pernah bertemu denganmu lagi selama belasan tahun! Hatiku sakit, Din! Lukaku juga tak pernah kering!”
“Tapi tak mungkin sesakit menanggung aib, kan, May?” Dina mulai tak menguasai dirinya, ia menunjuk- nunjuk ke dadanya sendiri..“Tak mungkin sesakit menahan hati dari kemirisan yang selalu meratapi nasib!! Tak mungkin sesakit menopang tulang rapuh yang selalu orang – orang patahkanl!!” Air matanya berderai, dihamburkan emosi yang sejak tadi berusaha ia tahan. Kejadian belasan tahun itu berkilat – kilat di kepalanya. Saat itu ia baru pulang dari sekolah. Ia berjalan di jalur yang tidak biasa ia lewati. Malang segerombolan anak lelaki menghadangnya. Memandangnya dengan kotor dan mulai melakukan hal ternajis itu!! Ia tak berdaya. . . ia tak mampu untuk menceritakannya pada siapapun hingga akhirnya semuanya terbongkar. Ia pergi dari rumah, ia cukup tahu diri – atau lebih tepatnya ia sudah tak cukup mampu untuk menghadapi wajah – wajah sinis itu. Ia sudah cukup mati karena kerapuhan.
“Di mana kau saat itu, May? Bukankah sahabat akan selalu mendengar jerit hati sahabatnya, May? Apakah telingamu tuli saat itu, May? Apakah nuranimu beku? Atau mata hatimu tertutup? Aku butuh sahabatku! Aku butuh kalimat – kalimatnya yang selalu aku agung – agungkan. . . aku butuh sahabatku yang bijak itu!” Dina mengisak, menjerit, air matanya menghambur tak terkendali. Dadanya sesak.
“Aku bukan sahabat yang baik, Din ... aku tak sekuat kau ... aku tak mampu melawan semuanya. Aku tak mampu memenangkan hatiku untuk membantumu. Tanganku ditarik, Din ... mataku ditutup ... tapi hatiku tak kan pernah beku, Din ... tak kan pernah ....
“Aku tak butuh alasanmu, May. Kita tak butuh teori, tapi praktek!”
“Aku mohon, Din ... lupakanlah semua itu ... aku akan menebus semuanya. Beri aku kesempatan. Aku mohon ...” Maya menatap mata yang terlihat sendu itu.
“Kenapa, May? Kau kasihan padaku? Begitu? Kau kasihan melihat anakku yang tanpa ayah itu hidup tanpa alas kaki?!!” Dina menunjuk anaknya yang sedang asyik dalam ketakjubannya menonton layar televise besar di ruang tengah mewah itu.
Air muka Maya berubah. “Tidak, Din. bukan begitu maksudku ... Aku cuma - ”
“Tak apa, May.” Dina memotong. “Saat itu aku ingin sekali ada sahabatku di sisiku. Menegarkan jiwa yang rapuh ini, menegakkan tulang – tulang keropos ini, membinarkan mata yang selalu sayu ini. Aku sangat ingin meskipun alasan kau melakukannya adalah karena kasihan sekalipun!! Aku memang sangat ingin dikasihani saat itu, May!!!”
Tubuh Maya tergoncang. Tersedu – sedu ia turun dari tempat tidur dan menyentuh kaki Dina yang terasa semakin tak berdaging.
“Aku mohon, Din ... maafkan aku ... ampuni aku yang lemah ini ... aku mohon, Dina. . . lupakanlah semuanya. . . kita buka lembar yang baru.”
“Aku sudah melupakan semuanya.”
Maya mengangkat wajahnya. Menatap miris sosok kaku di depannya.
“Aku sudah melupakan semuanya, May.”
“Aku sudah lupa bahwa dulu aku punya sahabat sepertimu. . . aku sudah lupa bahwa aku pernah sangat sakit olehnya. . .  telah aku anggap mimpi semuanya.”
“Aku masih percaya bahwa ikatan persahabatan tak kan pernah putus.”
Maya menelan ludah, kemudian melanjutkan “ Jika kau memang sahabatku kau pasti akan kembali padaku. Kalau tidak, itu berarti -”
“Berarti aku bukan sahabatmu, May. Dan memang begitu adanya.” Dina beranjak menyampit lengan anaknya dan membawanya keluar dari rumah Maya, meninggalkan Maya yang masih terperangah dengan apa yang terjadi.
Sampai di ambang pintu, Dina berbalik. “Harusnya kau tak perlu menolong anakku, jadi aku tak perlu bertemu denganmu di sini.” Dina membetulkan kerudungnya.
Maya menyiapkan mulutnya untuk berbicara, namun lidahnya kelu. Hanya sepasang matanya yang tak beranjak menatap punggung Dina yang semakin lama semakin kabur.
>Selesai<

Iia
03-06-2011

Hmhm... bagaimana dg yg ini??
hehee.. ini cerpen favoritku. Cerpen yg plg cerpen dan plg mgharukan. Nulisnya aja smbil nangis lho... hahaa cengeng! :D
Inspirasinya... hmm.. dari seorang temanku yg udah punya si kecil..:)
Semoga tak terjadi pada kita ya... amiin.:)
COMMENT :
Alap… ktw2au la alap..la ndik diau gy yg d benahi.. ndik diau komen.. la smakin mirip cerpen.. slut dg ktw2au.. nusuk niand.. kenaw dg q.. hehehe.. luk’aw q maya niand a’.. luk’aw sejahat itulah q.. hahaha!! *Ing.

)))“thanks a lot ing. . .  hehehhe ndik lah! Bukan kb it tu. . . ”

Ndx pck koment apw2,,, mbacaw aw ajwlh merinding....padek mel..
Tingkatkan lagi.roby.

Lebay igau mel kta2 au,,,,
Hehehehehehehehe,irul












Tidak ada komentar: