Jika
Dia Bukan Sahabat . . .
|
D
|
ua wanita itu saling
diam. Sesekali mereka saling mencuri pandang, namun tak pernah berlangsung
lama. Mata keduanya terasa panas saat sepasang bola mata mereka saling
beradu. Ada sebuah rautan yang menggurat wajah mereka. Rautan yang
sukar untuk dijelaskan. Rautan kegalauan hati yang kini sedang membuncah –
buncah , menguasai amarah yang menaik turunkan dada mereka.
Hening. Kamar itu terasa hening. Tak ada inisiatif antara keduanya untuk memulai
pembicaraan. Entah apa alasannya – belum mereka temukan. Dina beranjak dari
tempat tidur yang sejak tadi menjadi penopang tubuh mereka yang kaku - menuju
gorden hijau kamar itu, lalu membukanya. Kamar yang luas itu tak cukup
membuat ia merasa nyaman, AC yang sejak tadi menyala tak cukup dingin untuk
membuat suasana kamar itu sedikit sejuk. Matanya menerawang jauh ke luar jendela. Kilatan – kilatan masa lalu merasuki otaknya.
Persahabatan adalah silaturahim terindah yang dijalin manusia. Lewatnya kita
berbagi, lewatnya kita memberi, lewatnya kita tertawa, lewatnya kita menangis,
lewatnya kita merasakan beban berat menjadi begitu ringan.
Dina tersenyum getir.
Semuanya terasa mimpi yang tak punya daya apapun untuk mengubah kehidupan dunia nyata. Adakah syarat untuk sebuah persahabatan?
Semuanya terasa mimpi yang tak punya daya apapun untuk mengubah kehidupan dunia nyata. Adakah syarat untuk sebuah persahabatan?
“Aku mohon, Din. Maafkan aku. Aku tahu aku salah. Aku
sama sekali tak bermaksud. . .”
Dina menatap kosong sosok yang di wajahnya terukir penyesalan yang
mendalam itu.
“Saat itu aku serasa ingin mati.”Jawab Dina datar dengan tatapan
yang tetap kosong.
Srrettt! Maya tertunduk. Sebuah belati tajam menggores hatinya yang luka. Luka yang tak
kunjung kering sejak belasan tahun yang lalu. Periiih!
“Maaf. . .“ Lirihnya.
“Hanya itu yang dapat kau ucapkan.”
Bulir demi bulir air beningnya jatuh. Menetesi lukanya. Hhsshh.
.semakin perih rasanya.
“Itu bukan salahku, May.”
“Aku tahu itu. . .” suara Maya serak.
“Harusnya kita tak pernah bertemu lagi.”
“Dina, aku sahabatmu.”
“Harusnya dulu kau ingat itu.”
Buliran bening memenuhi dadanya. Maya mulai sesak. Ia sadar, ia
salah. Sahabat macam apa yang dengan kejam meninggalkan sahabatnya saat ia
sangat- sangat membutuhkannya?! Sahabat macam apa yang tak mengusapkan
tangannya pada pipi sahabatnya yang penuh dengan deraian air mata?! Sahabat
macam apa yang tak hadir menerangi jiwa sahabatnya yang tengah tertutup awan
gelap?! Sahabat macam apa?! Atau bahkan masih pantaskah ia disebut seebagai
sahabat?! Ia sadar semua itu. Namun keadaan. Keadaan yang membuatnya
terhujam oleh pertanyaan – pertanyaan seperti itu. Saat itu ia bagaikan makan
buah simalakama. Ia ingin sekali mengganti buliran – buliran itu dengan deraian
tawa, atau sekedar mengembangkan senyumnya yang manis. Namun keadaan memaksa ia
menghindarkan jauh – jauh tangannya dari pipi itu. Memaksa ia menghindarkan
diri dari sosok kaku di hadapannya kini. Berhari – hari, berminggu – minggu,
sampai berbelasan tahun mereka tak pernah bertatap muka lagi hingga akhirnya
keadaan mempertemukan mereka kembali, di hari ini.
“Aku punya alasan, Din.”
“Sudahlah! Aku sudah melupakannya.” Nada bicara Dina naik satu
oktaf.
“Tapi kau belum memaafkanku.”
“Sulit, May. Harusnya kau tak usah membongkar kembali benang –
benang fibrin yang mulai menutup lukaku ini.” Ketus Dina.
“Aku punya alasan, Din.” Tembak Maya.
Dina tersenyum getir. Bibirnya bergetar.
“Karena apa, May? Karena kau malu? Aku tahu, keadaanku memang sangat memalukan! Kau
jijik, May? Tubuhku memang kotor saat itu, dan mungkin juga hingga saat ini.
“Aku memang tidak sepertimu, May. Aku bukan muslimah
berjilbab sepertimu. Aku bukan anak Bapak Ustadz. Aku bukan golongan
terpandang.” Dina tersenyum sinis.“Mau ditaro
di mana mukamu jika masih berteman denganku?! Anak Pak Ustadz kok
temenan sama pelaku zina.” Dina menggeleng – gelengkan kepalanya.
Maya meringis. Matanya tak mampu membendung awan – awan yang bergelantungan pada
kelopak matanya untuk merembes.
“Jangan menangis, May.”
“Aku minta maaf, Din ... aku yang salah ... aku tahu itu ...” Maya
mengisak. “Aku benar – benar dalam keadaan sulit saat itu, Din. Apa kau pikir
aku tak peduli padamu, Din? Apa kau pikir aku lantas mencoret namamu dari
daftar sahabatku? Nggak, Din, nggak!! Aku ingin sekali menghapus air mata itu ... aku ingin
sekali bersenandung untuk memekarkan hatimu ... aku ingin sekali,
Din. Apa kau pikir hanya kau yang sakit? Aku juga sakit, Din! Sakit rasanya saat aku
harus memaksakan tubuh ini untuk berjauhan denganmu ... sakit rasanya, Din –
saat aku harus tak pernah bertemu denganmu lagi selama belasan tahun! Hatiku
sakit, Din! Lukaku
juga tak pernah kering!”
“Tapi tak mungkin sesakit menanggung aib, kan, May?” Dina mulai tak
menguasai dirinya, ia menunjuk- nunjuk ke dadanya sendiri..“Tak mungkin sesakit
menahan hati dari kemirisan yang selalu meratapi nasib!! Tak mungkin sesakit menopang
tulang rapuh yang selalu orang – orang patahkanl!!” Air matanya berderai,
dihamburkan emosi yang sejak tadi berusaha ia tahan. Kejadian belasan tahun itu
berkilat – kilat di kepalanya. Saat itu ia baru pulang dari sekolah. Ia
berjalan di jalur yang tidak biasa ia lewati. Malang segerombolan anak lelaki
menghadangnya. Memandangnya dengan kotor dan mulai melakukan hal ternajis itu!!
Ia tak berdaya. . . ia tak mampu untuk menceritakannya pada siapapun hingga
akhirnya semuanya terbongkar. Ia pergi dari rumah, ia cukup tahu diri – atau
lebih tepatnya ia sudah tak cukup mampu untuk menghadapi wajah – wajah sinis
itu. Ia sudah cukup mati karena kerapuhan.
“Di mana kau saat itu, May? Bukankah sahabat akan selalu mendengar jerit hati
sahabatnya, May? Apakah telingamu tuli saat itu, May? Apakah nuranimu beku? Atau mata
hatimu tertutup? Aku butuh sahabatku! Aku butuh kalimat – kalimatnya yang
selalu aku agung – agungkan. . . aku butuh sahabatku yang bijak itu!” Dina
mengisak, menjerit, air matanya menghambur tak terkendali. Dadanya sesak.
“Aku bukan sahabat yang baik, Din ... aku tak sekuat kau ... aku tak
mampu melawan semuanya. Aku tak mampu memenangkan hatiku untuk membantumu.
Tanganku ditarik, Din ... mataku ditutup ... tapi hatiku tak kan pernah beku, Din ... tak kan
pernah ....”
“Aku tak butuh alasanmu, May. Kita tak butuh teori, tapi praktek!”
“Aku mohon, Din ... lupakanlah semua itu ... aku akan menebus
semuanya. Beri aku kesempatan. Aku mohon ...” Maya menatap mata yang terlihat
sendu itu.
“Kenapa, May? Kau kasihan padaku? Begitu? Kau kasihan
melihat anakku yang tanpa ayah itu hidup tanpa alas kaki?!!” Dina menunjuk anaknya
yang sedang asyik dalam ketakjubannya menonton layar televise besar di ruang
tengah mewah itu.
Air muka Maya berubah. “Tidak, Din. bukan begitu maksudku ... Aku cuma -
”
“Tak apa, May.” Dina memotong. “Saat itu aku ingin
sekali ada sahabatku di sisiku. Menegarkan jiwa yang rapuh ini, menegakkan tulang
– tulang keropos ini, membinarkan mata yang selalu sayu ini. Aku sangat ingin
meskipun alasan kau melakukannya adalah karena kasihan sekalipun!! Aku memang sangat ingin
dikasihani saat itu, May!!!”
Tubuh Maya tergoncang. Tersedu – sedu ia turun dari tempat tidur dan
menyentuh kaki Dina yang terasa semakin tak berdaging.
“Aku mohon, Din ... maafkan aku ... ampuni aku yang lemah
ini ... aku mohon, Dina. . . lupakanlah semuanya. . . kita buka lembar
yang baru.”
“Aku sudah melupakan semuanya.”
Maya mengangkat wajahnya. Menatap miris sosok kaku di depannya.
“Aku sudah melupakan semuanya, May.”
“Aku sudah lupa bahwa dulu aku punya sahabat sepertimu. . . aku
sudah lupa bahwa aku pernah sangat sakit olehnya. . . telah aku anggap mimpi semuanya.”
“Aku masih percaya bahwa ikatan persahabatan tak kan pernah putus.”
Maya menelan ludah, kemudian melanjutkan “ Jika kau memang sahabatku
kau pasti akan kembali padaku. Kalau tidak, itu berarti -”
“Berarti aku bukan sahabatmu, May. Dan memang begitu adanya.” Dina beranjak menyampit
lengan anaknya dan membawanya keluar dari rumah Maya, meninggalkan Maya yang
masih terperangah dengan apa yang terjadi.
Sampai di ambang pintu, Dina berbalik. “Harusnya kau tak perlu
menolong anakku, jadi aku tak perlu bertemu denganmu di sini.” Dina membetulkan
kerudungnya.
Maya menyiapkan mulutnya untuk berbicara, namun lidahnya kelu. Hanya
sepasang matanya yang tak beranjak menatap punggung Dina yang semakin lama
semakin kabur.
>Selesai<
Iia
03-06-2011
Hmhm... bagaimana dg yg ini??
hehee.. ini cerpen favoritku. Cerpen yg plg cerpen dan plg mgharukan. Nulisnya aja smbil nangis lho... hahaa cengeng! :D
hehee.. ini cerpen favoritku. Cerpen yg plg cerpen dan plg mgharukan. Nulisnya aja smbil nangis lho... hahaa cengeng! :D
Inspirasinya... hmm.. dari seorang
temanku yg udah punya si kecil..:)
Semoga tak terjadi pada kita ya...
amiin.:)
COMMENT :
Alap… ktw2au la alap..la ndik diau gy
yg d benahi.. ndik diau komen.. la smakin mirip cerpen.. slut dg ktw2au..
nusuk niand.. kenaw dg q.. hehehe.. luk’aw q maya niand a’.. luk’aw sejahat
itulah q.. hahaha!! *Ing.
)))“thanks a lot ing. . .
hehehhe ndik lah! Bukan kb it tu. . . ”
Ndx pck koment
apw2,,, mbacaw aw ajwlh merinding....padek mel..
Tingkatkan lagi.roby.
Lebay igau mel kta2
au,,,,
Hehehehehehehehe,irul
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar